Dua, tiga, empat, lima, kucentang satu
persatu nomor pada daftar kegiatanku hari ini.
Huft... Akhirnya selesai. Kuseka keringat yang sedikit
membasahi keningku. Aku lelah akan semua rutinitas yang sudah lama ku jalani.
Tapi, Aku menikmatinya.
Dera itu nama panggilanku, mahasiswi cantik
dan berbakat. Siapa yang tak mengenalku, secara Aku adalah anak organisasi yang
paling aktif di kampus. Sombong memang ketika harus menyebutkan jabatanku di
kampus sebagai ketua sanggar tari, wakil ketua badan eksekutif, dan anggota UKM
lainnya. Agenda apapun yang berhubungan dengan keahlianku pasti Aku yang
mewakili.
"Dera, kamu sibuk ya hari ini?" tanya seorang sahabatku, Salsa.
"Maaf ya Sa, Aku sibuk. Harus
ngerjain proposal terus siangnya lanjut rapat," dengan rasa bersalah kujawab pertanyaanya.
"Gitu ya Ra? Padahal Aku pengen ngajak
kamu jalan. Udah lama lho Ra kita nggak jalan bareng," jawab Salsa dengan raut muka memelas.
"Oke lain kali ya Aku usahain. Maaf banget Sa, project ini nggak bisa ditinggalin," jelasku pada Salsa. Akhirnya Aku
memutuskan untuk pamit dari hadapannya karena harus bergegas ke sekret.
Langkahku terhenti seketika melihat
setumpukan kertas yang berada di kotak sampah. Kuambil satu persatu kertas
tersebut dan kubaca dari lembar pertama hingga akhir.
"Apa? Gila aja nih orang, ini
jelas-jelas kertas proposal yang Aku print kemarin. Kok bisa ada disini sih?!" gumamku kesal.
Tanpa pikir panjang Aku masuk kedalam ruangan tersebut dan tak kudapati seorangpun disana.
Masih menjadi misteri, tak ada satupun
orang yang mengakui siapa yang telah membuang proposalku kemarin. Tapi Aku curiga
pasti ada seseorang yang ingin menjatuhkanku.
"Dera? Dera Deviana?" panggilan itu sayup-sayup
terdengar, "Kamu
keluar!"
Suara yang paling jelas terdengar setelah
namaku disebut. Sontak lamunanku buyar dan kudapati dosen Bahasa Indonesia sedang berkacak
pinggang di depan.
"Kok keluar sih, Pak? Saya salah apa?" tanyaku dengan muka sepolos mungkin.
"Dari tadi kamu tidak memperhatikan
saya, keluar sekarang juga!" bentak
dosen yang memang terkenal killer itu. Oke,
kuputuskan untuk keluar kelas. Memang, dari awal pikiranku sudah terbagi antara
pelajaran dengan oknum yang membuang proposalku itu. Setelah memutuskan untuk keluar Aku pun mulai
berpikir untuk segera mencari tahu siapa yang membuang proposalku.
"Dera, kok nggak masuk kelas?" tanya Ibu Nurma, salah seorang dosen
pembimbing.
"Iya Bu, tadi ada masalah, jadi keluar kelas," jawabku singkat.
"Kalau begitu ke sanggar yuk, latihan
untuk dies natalis jurusan kita," ajak beliau sembari menggandeng tanganku. Dengan pasrah Aku pun mengikuti
langkah kaki Bu Nurma. Sesampainya di ruangan tersebut kulihat banyak piagam
yang terpajang di dinding. Salah satunya terdapat namaku Dera Deviana sebagai
salah satu pemenang dalam lomba tari tingkat nasional. Kupandangi piagam tersebut dengan seksama, sesekali kuusap untuk
membersihkan debu yang menempel.
Ya, piagam ini telah usang,
kudapatkan empat tahun silam ketika masih menyandang status mahasiswa baru.
Sekarang hanya dapat membagikan ilmunya kepada generasi penerus.
"Kamu tunggu adek tingkat datang ya Der,
ibu mau ke kantor. Nanti langsung latihan aja," jelas Bu Nurma sembari berjalan meninggalkanku.
Mana bisa Aku melatih mereka sedangkan Aku
masih belum menemukan siapa yang telah membuang proposalku. Kuputuskan untuk pergi ke
sekret dan mencari penyebab kegagalan acaraku kemarin. Tanpa pikir panjang kulangkahkan
kakiku menuju tempat itu.
"Der, rapat yuk, bahas acara penggalangan
dana besok,"
tiba-tiba suara itu menghentikan langkahku, ternyata itu suara Aji.
Aji adalah kepala bidangku. Sosok yang didambakan
banyak wanita, tak lain dan tak bukan karena dia memiliki paras yang tampan
serta tingkat kecerdasan diatas rata-rata. Tapi sayang dia adalah adik
tingkatku.
"Iya Ji, bentar ya mau ada
urusan" jawabku sambil memalingkan muka dan meninggalkan ia sendiri.
Mungkin tingkahku yang demikian adalah kali kesekian yang menggambarkan
kekesalanku kepada Aji. Bagaimana tidak, ia selalu memintaku untuk rapat disaat
tugas atau urusanku sedang banyak.
Hari
ini adalah hari tersuram yang pernah kualami. Semua terbengkalai. Tugas-tugasku, acaraku, skripsiku. Ah, semua nampak mengecewakan. Kuputuskan untuk berpikir beberapa saat.
Jarum jam menunjukkan pukul dua dini hari. Pertanda bahwa Aku harus segera tertidur. Namun, masalah
hari ini tidak bisa dianggap sepele. Skripsiku masih saja berhenti di BAB 1.
Inget Ra, kamu udah semester sembilan kalo nggak
cepet lulus kamu nggak bisa cepet nikah, kalo nggak nikah jadi perawan tua
terus kalo jadi perawan tua kecantikanmu mubazir. Ayo dong Ra, semangat ngerjain
skripsinya!
Tiba-tiba
perkataan Salsa melintas dipikiranku.
"Iya juga, kalo nggak cepet lulus nggak
bisa cepet nikah ya?” Kalimat konyol itu sontak membuatku semangat mengerjakan skripsi.
Tak peduli jam berapa sekarang, yang terpenting skripsiku tidak mentok di BAB 1. Kuketik kata
perkata hingga menjadi kalimat yang padu.
"Ra, kamu tau kenapa akhir-akhir ini
semua urusanmu tidak berjalan dengan lancar?" Tanya Salsa.
"Entahlah Sa, mungkin Aku kurang waktu
aja buat menyelesaikan tugasku," jawabku singkat.
"Bukan Ra, kamu seharusnya fokus pada
tujuan kamu, sekarang udah bukan waktumu untuk ikut organisasi. Pun jika memang ingin ikut organisasi, fokus Ra. Pilih salah satu yang
kamu inginkan. Jangan pernah berpikir bahwa kamu bisa segalanya. Jika kamu
memiliki banyak pilihan maka akan banyak pula tanggungjawab yang harus kamu
jalani. Pahami aja pesanku barusan"
Aku terbangun. Ternyata ini hanya sebuah
mimpi. Namun, perkataan Salsa di dalam mimpi itu seperti sedang menampar ku
berkali-kali hingga Aku tersadar. Kamu benar Sa, Aku harus berubah!
oleh : Fifi Nurhafifah