Aku berada di dalam kandang lalat.
Kandang yang lembap, pengap—tanpa lubang ventilasi yang penuh dengan makanan dan buah busuk.
Belatung-belatung merambat di lantai keramik, di
gorden jendela, di kakiku, berkerumun mengelilingi tumpukan pisang yang
membusuk di atas meja. Lalat-lalat hijau bertelur di kulit mayat yang terduduk
di kaki-kaki ranjang. Dan lalat rumah kehitaman menjilati keringatku yang sudah
beberapa hari belum mandi.
Entah bagaimana caranya lalat-lalat
itu masuk, tapi aku yakin mereka tidak akan bisa kembali keluar.
Aku
menggeliat, mencoba mengusir lalat-lalat hitam yang mulai mencoba memasuki
hidungku. Namun, tubuhku sudah terlalu lemas untuk
bergerak. Tali yang mengikatku terlalu
kencang. Lenganku kebas. Kakiku mati rasa. Celanaku basah—pesing karena hajat
kecil yang gagal kutahan.
Aroma busuk bangkai manusia
menggelitik hidungku. Kepalaku pusing, perutku mual, tapi yang bisa aku
muntahkan hanya cairan asam.Aku telan kembali cairan yang mulai mengumpul di
pangkal kerongkongan.
***
Gundukan bernoda danur di atas
ranjang itu, siapa namanya? Gadis itu.
Dia sudah mati ‘kan?
Ya. Gadis itu sudah mati. Tubuh
rampingnya kini mulai membengkak, terurai, lalat-lalat hijau bertelur di atas
selimutnya. Namun, kenapa laki-laki bodoh itu menyuapinya? Kenapa laki-laki
bodoh itu memberinya minum? Kenapa ia mengikatku di kandang ini untuk
menemaninya? Untuk apa aku di sini? Apa gundukan berselimut di kaki-kaki
ranjang itu belum cukup?
Bodoh.
Benar-benar bodoh, laki-laki itu.
Dan gundukan-gundukan lain di
kaki-kaki ranjang, tubuh milik siapa? Si pengantar surat? Kawan sekelas? Kawanku? Kawan siapa? Kulit-kulit yang
menempel kehilangan bentuk, melebur menjadi satu.
Belatung besar berdenyut, membuat
kesan seolah gundukan-gundukan itu hidup. Saling tumpang tindih, berbagi tudung
selimut.
Mereka sudah mati, ‘kan?
Ya. Mereka sudah mati. Sudah lama
gundukan-gundukan itu tidak bergerak. Yang bernapas, berpikir, dan masih mencoba bertahan hidup hanya
aku serta lalat-lalat itu. Laki-laki bodoh itu sudah mati
akal.
Ironis. Kandang yang penuh
kehidupan, tapi orang-orang mati di dalamnya. Tidak butuh waktu lama bagiku untuk membusuk dalam kandang ini.
***
Laki-laki itu mencium kening gadis
yang tertidur di ranjang. Cairan kental berbau aneh merembes keluar saat ia
mengelus wajah gadis itu. Tidak ada balasan, tentu saja. Gadis itu mati. Nasi
yang disendokkan paksa ke mulut gadis itu mulai membusuk berbalut jamur.
Pisang-pisang di meja berubah menjadi lendir asam. Air yang jarang diganti
mulai berjentik nyamuk.
Bicara dengan diri sendiri, eh?
Mencoba meyakinkan diri sendiri?
Menyedihkan.
Aku tertawa getir, walau suaraku tak mau keluar. Napasku
yang tinggal satu-satu sesak terisi uap mayat. Tidak pernah terbayang
sedikitpun dibenakku semua ini bisa terjadi. Laki-laki itu. Tidak pernah
terbayang olehku kebodohannya setragis
ini.
Ia bahkan tidak berbicara kepadaku.
Aku yang hidup ini. Aku yang masih sedikit bersuara. Aku yang belum mati. Apa
dia akan membiarkanku mati tanpa pesan terakhir?
Padahal masih ingin meninggalkan
kesan, aku yang sepi ini.
Hidungku gatal, lupa caranya membau
dan mulai mati rasa.
Benar-benar tidak tertolong.
***
Wajah terakhir yang kuingat mulai
buram, menyisakan kepingan-kepingan acak ingatan yang tidak berarti. Kacamata di atas meja. Tiga wadah bekal
kosong. Kerumunan lalat. Kadang aku masih bisa mendengar suara-suaranya,
suara dunia luar. Bel listrik yang
berdering di akhir jam makan siang.
Kadang aku teringat langkah
pertamaku memasuki rumah ini. Aroma busuk yang kini familiar. Pohon murbei di halaman depan. Entah
apa tujuan kedatanganku, aku tidak ingat lagi.
Aku mengenal laki-laki bodoh itu. Pipa logam yang bergesekan dengan lantai keramik. Canggungnya,
tawa lirihnya saat aku mencoba membuat lelucon bodoh dari kebodohannya. Wajah
kosongnya saat kehilangan adik kecilnya. Tubuh
busuk gadis mati yang terduduk di atas ranjang saat aku datang. Pipa besi
memukul belakang kepala.
Dan gadis itu.Senyumnya yang ramah. Siapa namanya? Aku tak lagi ingat.
Aku tak lagi ingat namaku.
Aku tak lagi ingat namanya,
laki-laki bodoh itu.
***
Sinar matahari menembus lapis
plastik bening penutup ventilasi menerpa wajahku, sudut datang yang mulai
tumpul membuatku sulit untuk menghalaunya. Udara di sekelilingku terasa jenuh,
berbau menyengat khas angin Neraka. Uap dari mayat-mayat mengambang, mewarnai
kandang ini dengan semu kecoklatan.
Tubuhku lelah. Sudah selama apa aku di sini?
Entahlah. Aku sendiri lupa kapan aku
datang. Yang pasti lebih lama dari kemarin. Padahal hari kemarin rasanya sudah
lama sekali. Mungkin hari kemarin dari kemarin, atau kemarin dari kemarinnya
lagi. Aku tidak tahu.
Kandang lembab ini mulai runtuh,
tembok-tembok dan gorden putih di jendela telah berganti warna. Cairan keruh
menggenangi lantai. Bercampur belatung hanyut, air seni, dan nasi-nasi basi
yang berjatuhan dari piring.
Lalat-lalat berhenti mendenggung,
melipat sayapnya di mangkuk buah, kulit basah, dan selimut mayat-mayat. Setiap
senti kulitku mati rasa. Dingin. Kaki-kaki lalat yang menggaruki wajahku tak
lagi terasa.
Hening.
Lambaian pohon murbei, kicauan burung gereja. Hembusan angin sore
dan matahari temaram. Sekolah kecil di bawah kaki bukit, sungai deras dengan
bendungan kecilnya, bayang-bayang tambang batu di belakang sekolah. Indah sekali.
Meskipun tertutup plastik dan
hembusan anginnya tak sampai, pemandangan yang kulihat dari ventilasi menjaga
harapanku. Ah, ya. Angin. Aroma udara segar. Nostalgia rasa lama. Napas siapa
yang meniupnya?
Ketukan pintu. Gerendel kunci. Ponsel mati yang kuharap kembali
berbunyi. Teriakan kawan sebangku. Dengung
pengeras suara. Gelombang panjang rambut si ketua kelas. Gadis-gadis histeris. Langkah-langkah panjang.
Dan bunyi tapak kaki siapapun itu.
Aku mohon.
Tolong aku.
Oleh:
Salsabilla Awaliyah Ramdhana